Siapa Menanam Dia Menuai
Ya... pepatah tersebut seringkali kita dengar.
Dimanapun,kapanpun, bahkan siapapun tidak salah ketika mengatakan siapa yang
menanam dialah yang menuai. Hal itu akan
terasa nyata ketika kita merasakan sendiri bagaimana ketika sesuatu tidak di
dapat secara Cuma-Cuma, melainkan membutuhkan proses dan perjuangan tentunya.
Flashback 1 tahun silam....
Tepatnya 26 Mei 2011, kegalauan di mulai. Bertolak belakang
dengan keriuhan pelajar lainnya yang berhamburan di jalanan merayakan kelulusan
mereka sebagai penyandang gelar pelajar
putih abu-abu, saya yang saat itu lebih banyak menampakan kebingungan daripada
kegembiraan lebih memilih menggowes sepeda menuju rumah yang berjarak sekitar 2 KM dari almamater tercinta
SMA 1 Kesesi. Ya.. saya bingung saat itu. Bingung harus senangkah atau
sedihkah. Pasalnya, dari sinilah segalanya akan dimulai. Saya bukanlah lagi
anak berumur 16 tahun yang harus berfikir layaknya anak berumur 16 tahun, saya
harus mulai memikirkan bagaimana masa depan saya setelah lulus dari SMA, saya
harus memeras otak untuk memikirkan bagaimana saya bisa melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi dengan perekonomian keluarga yang sedang carut marut.
Ya Allah... sepanjang 2 KM menuju rumah air mata sudah menganak sungai.
Dan benar saja, setibanya dirumah ketika saya mulai
mengutarakan niat melanjutkan studi ke perguruan tinggi sebagai bidan, ibu saya
malah membuat pandangan mata saya yang minus 2,25 semakin kabur karena genangan yang penuh di pelupuk mata. “terserah.... tapi
ibu tidak sanggup kalau harus kebidanan” hanya itu kata-kata yang saya dengar
dari bibir tipis ibu saya, lirih. Saya tidak tahu harus mengartikan seperti apa
ucapan ibu saat itu.
Meski status telah mengubah saya menjadi pelajar berpredikat
lulus, namun hal itu tidak sepenuhnya melepaskan hubungan antara saya dengan
almamater. Saya masih sering berkunjung ke SMA 1 Kesesi guna mengurus
berkas-berkas kelulusan yang belum lengkap. ijazah, SKHU dan lain sebagainya.
Seringnya saya berkunjung ke SMA saat itu, menjadikan saya banyak tahu
informasi penting mengenai pembukaan seleksi masuk perguruan tinggi negeri
maupun swasta di seluruh indonesia. Awalnya hal ini hanya saya pandang sebelah
mata karena keterbatasan biaya, namun akhirnya membuat saya tertarik juga. Saat
itu difikiran saya hanya terlintas bahwa apa salahnya mencoba, toh rencana
tuhan siapa yang tahu.
Dan dengan uang tabungan seadanya, saya memberanikan diri
untuk mendaftarkan nama saya sebagai calon mahasiswa. Namun ternyata masalah
tidak berhenti sampai disitu, ketika
transkrip nilai sebagai bahan pertimbangan mengikuti SNMPTN jalur undangan saya
serahkan ke guru BK, seketika itu pula semangat saya di banting keras-keras
dari tingginya keinginan saya. “belum memenuhi syarat mbak...” kata pak jayadi,
guru BK sekaligus petugas yang bertugas mengunggah transkrip nilai siswa
pendaftar SNMPTN.
Semalaman saya tidak bisa memejamkan mata barang sedetikpun,
pandangan saya tertuju pada seberkas transkrip nila semester 3 sampai semester
5. “apa yang salah dengan nilai ini?” batin saya. Lama saya memikirkan hal ini,
dan benar saja ternyata baru saya sadari prestasi saya mengalami penurunan yang
sangat drastis setiap tahunnya. Meskipun UN saya mendapat nilai yang sangat
memuaskan, tetapi tidak dengan nilai-nilai ujian sekolah sebelumnya. Malam ini saya habiskan dengan sholat malam,
bersahabat dengan mukenah dan sajadah. Berharap Allah akan memberikan
Ma’unah-Nya kepada saya.
Paginya saya masih harus berkunjung ke SMA untuk mengetahui
perkembangan ijazah yang tak kunjung ada kabarnya. Saya juga masih menyempatkan
diri bertandang ke ruangan pak jayadi sekedar untuk mengantar sahabat-sahabat
saya menanyakan perihal SNMPTN. Dada ini terasa sesak memasuki ruangan kecil di
pojokan sekolah, membayangkan keinginan saya yang telah pupus untuk menjadi
mahasiswa. Selang beberapa detik kemudian lamunan saya membuyar seketika karena
tepukan tangan pak jayadi di pundak saya. “ternyata bisa mbak, ayo coba daftar
SNMPTN online dulu sama yang lainnya” DHEGGGG..!!! tulang ini serasa ingin lolos dari
tempatnya,dan hampir tak ada daya bagi
saya untuk berdiri mengingat berita baik yang baru saja pak jayadi sampaikan
kepada saya. Alhamdulillah setidaknya satu pintu kesempatan di bukakan bagi
saya. Namun, pikiran saya tiba-tiba terpusat pada bagaimana saya akan membayar
uang pendaftaran sebesar 200.000 sedangkan baru tadi pagi uang yang sudah saya
siapkan untuk pendaftaran sebelumnya di pinjam bapak untuk sebuah keperluan.
Lagi-lagi air mata ini jatuh untuk kesekian kalinya . entah
apa yang harus saya lakukan kali ini. Saya memberanikan diri meminta uang pendaftaran
pada ibu dan bapak saat itu, dan sudah bisa ditebak apa hasilnya. Nihil, dan
perseteruanlah yang terjadi. Enggan ke sekolah saya saat itu, saya lebih
memilih mengurung diri di kamar. Merenungi kesalahan terbesar saya yang
memaksakan kehendak untuk melanjutkan studi dengan segala keterbatasan saya,
sedangkan di luar sana masih terdengar jelas adu mulut antara bapak dan ibu
yang saling menyalahkan satu sama lain. Ibu yang menyesali kehidupannya dengan bapak lantaran bapak yang
tak memiliki pekerjaan dan cenderung
memperparah usaha dagang ibu, bapak yang menyalahkan ketidaklegowoan ibu pada kondisi bapak yang
memang tidak memiliki pekerjaan. Ahh... semakin ingin saya menenggelamkan wajah
ini larut dalam penyesalan.
BRAKKKK...!!! pintu kamar dibuka dengan paksa tanpa diketuk.
Secepat kilat ibu melempar uang ratusan ribu sebanyak 2 lembar kepada saya yang
masih terbaring menutup wajah dengan bantal. “pergilah....” katanya singkat. Masih
dengan air mata yang menetes saya meraih
uang ratusan ribu tersebut, melangkah
gontai merapikan sisa-sisa perseteruan tadi pagi dan segera Meraih tangan
mungil ibu meminta restu. Dengan sedikit penyesalan yang masih mengganjal
dihati, saya memantapkan langkah menuju sekolah dengan bekal niat dan uang
200.000 untuk menjadi mahasiswa. “ya Allah lancarkanlah....” pintaku saat itu.
Pembayaran uang pendaftaran selesai, Tapi masalah masih belum selesai. Saya yang
sejak lama menginginkan melanjutkan studi ke kebidanan sempat down
karena pernyataan ibu yang menolak mentah-mentah keinginan saya
tersebut. Dan lagi-lagi masalahnya hanya karena biaya. Astaghfirullah....
Bismillah... diantara sekian banyak pilihan yang
membingungkan karena ini sebuah pelarian dadakan dari kebidanan, antara seni
tari, seni musik, seni rupa, sastra indonesia, sastra jawa, tata boga, tata busana, dan tehnik kimia akhirnya saya
mendaftarkan nama saya sebagai calon mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di
Universitas Negeri Semarang. Terdengar aneh memang, dari sekian banyak pilihan
ternyata saya menjatuhkan pilihan pada Bahasa Arab yang notabene tidak ada di
daftar jurusan yang saya inginkan. Entah apa yang ada di benak saya saat itu
saya sendiri pun tidak begitu tahu. Entahlah........
to be continued