Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Sabtu, 06 Oktober 2012

Cari pintu lain ketika satu pintu ditutup!!!!! [bagian I]



Siapa Menanam Dia Menuai
Ya... pepatah tersebut seringkali kita dengar. Dimanapun,kapanpun, bahkan siapapun tidak salah ketika mengatakan siapa yang menanam dialah yang menuai.  Hal itu akan terasa nyata ketika kita merasakan sendiri bagaimana ketika sesuatu tidak di dapat secara Cuma-Cuma, melainkan membutuhkan proses dan perjuangan tentunya.

Flashback 1 tahun silam....

Tepatnya 26 Mei 2011, kegalauan di mulai. Bertolak belakang dengan keriuhan pelajar lainnya yang berhamburan di jalanan merayakan kelulusan mereka sebagai penyandang gelar  pelajar putih abu-abu, saya yang saat itu lebih banyak menampakan kebingungan daripada kegembiraan lebih memilih menggowes sepeda menuju rumah yang  berjarak sekitar 2 KM dari almamater tercinta SMA 1 Kesesi. Ya.. saya bingung saat itu. Bingung harus senangkah atau sedihkah. Pasalnya, dari sinilah segalanya akan dimulai. Saya bukanlah lagi anak berumur 16 tahun yang harus berfikir layaknya anak berumur 16 tahun, saya harus mulai memikirkan bagaimana masa depan saya setelah lulus dari SMA, saya harus memeras otak untuk memikirkan bagaimana saya bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dengan perekonomian keluarga yang sedang carut marut. Ya Allah... sepanjang 2 KM menuju rumah air mata sudah menganak sungai. 

Dan benar saja, setibanya dirumah ketika saya mulai mengutarakan niat melanjutkan studi ke perguruan tinggi sebagai bidan, ibu saya malah membuat pandangan mata saya yang minus 2,25 semakin kabur  karena genangan  yang penuh di pelupuk mata. “terserah.... tapi ibu tidak sanggup kalau harus kebidanan” hanya itu kata-kata yang saya dengar dari bibir tipis ibu saya, lirih. Saya tidak tahu harus mengartikan seperti apa ucapan ibu saat itu.
Meski status telah mengubah saya menjadi pelajar berpredikat lulus, namun hal itu tidak sepenuhnya melepaskan hubungan antara saya dengan almamater. Saya masih sering berkunjung ke SMA 1 Kesesi guna mengurus berkas-berkas kelulusan yang belum lengkap. ijazah, SKHU dan lain sebagainya. Seringnya saya berkunjung ke SMA saat itu, menjadikan saya banyak tahu informasi penting mengenai pembukaan seleksi masuk perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh indonesia. Awalnya hal ini hanya saya pandang sebelah mata karena keterbatasan biaya, namun akhirnya membuat saya tertarik juga. Saat itu difikiran saya hanya terlintas bahwa apa salahnya mencoba, toh rencana tuhan siapa yang tahu.
          Dan dengan uang tabungan seadanya, saya memberanikan diri untuk mendaftarkan nama saya sebagai calon mahasiswa. Namun ternyata masalah tidak berhenti  sampai disitu, ketika transkrip nilai sebagai bahan pertimbangan mengikuti SNMPTN jalur undangan saya serahkan ke guru BK, seketika itu pula semangat saya di banting keras-keras dari tingginya keinginan saya. “belum memenuhi syarat mbak...” kata pak jayadi, guru BK sekaligus petugas yang bertugas mengunggah transkrip nilai siswa pendaftar  SNMPTN.
          Semalaman saya tidak bisa memejamkan mata barang sedetikpun, pandangan saya tertuju pada seberkas transkrip nila semester 3 sampai semester 5. “apa yang salah dengan nilai ini?” batin saya. Lama saya memikirkan hal ini, dan benar saja ternyata baru saya sadari prestasi saya mengalami penurunan yang sangat drastis setiap tahunnya. Meskipun UN saya mendapat nilai yang sangat memuaskan, tetapi tidak dengan nilai-nilai ujian sekolah sebelumnya.  Malam ini saya habiskan dengan sholat malam, bersahabat dengan mukenah dan sajadah. Berharap Allah akan memberikan Ma’unah-Nya kepada saya.
         Paginya saya masih harus berkunjung ke SMA untuk mengetahui perkembangan ijazah yang tak kunjung ada kabarnya. Saya juga masih menyempatkan diri bertandang ke ruangan pak jayadi sekedar untuk mengantar sahabat-sahabat saya menanyakan perihal SNMPTN. Dada ini terasa sesak memasuki ruangan kecil di pojokan sekolah, membayangkan keinginan saya yang telah pupus untuk menjadi mahasiswa. Selang beberapa detik kemudian lamunan saya membuyar seketika karena tepukan tangan pak jayadi di pundak saya. “ternyata bisa mbak, ayo coba daftar SNMPTN online dulu sama yang lainnya” DHEGGGG..!!!  tulang ini serasa ingin lolos dari tempatnya,dan  hampir tak ada daya bagi saya untuk berdiri mengingat berita baik yang baru saja pak jayadi sampaikan kepada saya. Alhamdulillah setidaknya satu pintu kesempatan di bukakan bagi saya. Namun, pikiran saya tiba-tiba terpusat pada bagaimana saya akan membayar uang pendaftaran sebesar 200.000 sedangkan baru tadi pagi uang yang sudah saya siapkan untuk pendaftaran sebelumnya di pinjam bapak untuk sebuah keperluan.
         Lagi-lagi air mata ini jatuh untuk kesekian kalinya . entah apa yang harus saya lakukan kali ini. Saya memberanikan diri meminta uang pendaftaran pada ibu dan bapak saat itu, dan sudah bisa ditebak apa hasilnya. Nihil, dan perseteruanlah yang terjadi. Enggan ke sekolah saya saat itu, saya lebih memilih mengurung diri di kamar. Merenungi kesalahan terbesar saya yang memaksakan kehendak untuk melanjutkan studi dengan segala keterbatasan saya, sedangkan di luar sana masih terdengar jelas adu mulut antara bapak dan ibu yang saling menyalahkan satu sama lain. Ibu yang menyesali  kehidupannya dengan bapak lantaran bapak yang tak memiliki pekerjaan dan cenderung  memperparah usaha dagang ibu, bapak yang menyalahkan ketidaklegowoan ibu pada kondisi bapak yang memang tidak memiliki pekerjaan. Ahh... semakin ingin saya menenggelamkan wajah ini larut dalam penyesalan.
          BRAKKKK...!!! pintu kamar dibuka dengan paksa tanpa diketuk. Secepat kilat ibu melempar uang ratusan ribu sebanyak 2 lembar kepada saya yang masih terbaring menutup wajah dengan bantal. “pergilah....” katanya singkat. Masih dengan  air mata yang menetes saya meraih uang  ratusan ribu tersebut, melangkah gontai merapikan sisa-sisa perseteruan tadi pagi dan segera Meraih tangan mungil ibu meminta restu. Dengan sedikit penyesalan yang masih mengganjal dihati, saya memantapkan langkah menuju sekolah dengan bekal niat dan uang 200.000 untuk menjadi mahasiswa. “ya Allah lancarkanlah....” pintaku saat itu.
         Pembayaran uang pendaftaran selesai,  Tapi masalah masih belum selesai. Saya yang sejak lama menginginkan melanjutkan studi ke kebidanan sempat down  karena pernyataan ibu yang menolak mentah-mentah keinginan saya tersebut. Dan lagi-lagi masalahnya hanya karena biaya. Astaghfirullah....
Bismillah... diantara sekian banyak pilihan yang membingungkan karena ini sebuah pelarian dadakan dari kebidanan, antara seni tari, seni musik, seni rupa, sastra indonesia, sastra jawa, tata boga,  tata busana, dan tehnik kimia akhirnya saya mendaftarkan nama saya sebagai calon mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Negeri Semarang. Terdengar aneh memang, dari sekian banyak pilihan ternyata saya menjatuhkan pilihan pada Bahasa Arab yang notabene tidak ada di daftar jurusan yang saya inginkan. Entah apa yang ada di benak saya saat itu saya sendiri pun tidak begitu tahu. Entahlah........

to be continued

0 komentar:

Posting Komentar