Menjadi mahasiswa bukanlah pilihan. Bagi saya,
menjadi mahasiswa adalah keinginan. Keinginan untuk menjadi dewasa dibawah
asuhan proses, dimanjakan dengan kesenangan dunia kampus, dengan segala
problematikanya, bahkan dengan segudang resikonya.
Tidak sedikit teman-teman mahasiswa yang
berpikiran seperti itu, terlebih lagi bagi mereka yang banyak memiliki
kesibukan berbeda dengan teman-teman disekitarnya seperti saya. Mereka paham
benar, mengikuti berbagai kegiatan kampus non akademik tentu mendatangkan efek
positif dan negatif. Menjadi aktivis memang menyenangkan, akan ada banyak
sekali orang yang mengenali, setiap kaki melangkah selalu saja ada yang menyapa.
Menjadi aktivis memang melenakan, akan ada banyak sekali pengalaman yang bisa
digali, dan tentunya akan ada banyak sekali sesuatu yang dipelajari yang tidak
bisa orang lain pelajari.
Pun semua problematika dan resiko yang akan
didapatkan tentu tidak akan pernah didapatkan oleh orang lain. Banyak yang
menyapa tentu banyak yang mengacuhkan, banyak yang menyanjung tentu banyak yang
mencela. Semua itu adalah konsekuensi dari sebuah keinginan.
Seperti yang mereka rasakan, saya pun
merasakannya. Banyak sekali yang menyanjung ketika berjalan bersama beberapa
teman, orang-orang hanya menyapa saya. Atau ketika seseorang menanyakan nama
saya dimana-dimana dan mereka mengenalnya. Bahkan terkadang teman SMA akan
menyinggung perubahan besar dalam diri saya yang semakin ‘aktif’. Tidak jarang,
saya akan dituakan dalam berbagai hal meski dalam hitungan umur sayalah yang
paling muda. Menyenangkan, ya itu
menyenangkan bagi saya.
Tapi semua itu perlu dibayar mahal, membutuhkan
sesuatu yang besar untuk menebusnya. Saya perlu berpikir ekstra untuk
mengimbangi waktu saya di kuliah dan organisasi, mencari barang sedetik saja
sela-sela waktu kuliah untuk memikirkan organisasi. Atau sebaliknya, Meneliti
waktu barangkali ada sedetik saja waktu
untuk memikirkan kuliah. Yang paling mengenaskan adalah kehilangan quality time
dengan orang-orang tercinta. Orang tua menjadi melankolis karena merasa
dilupakan oleh anaknya, atau teman-teman kos dan teman-teman dekat merasa
diacuhkan demi kesibukan organisasi yang baru saja saya geluti.
Saya benar-benar memahami hal itu, dan
lagi-lagi saya katakan itulah konsekuensi dari keinginan saya untuk
mendewasakan diri dari sebuah proses. Berawal dari meneliti waktu, memilahnya,
dan kemudian menemukan sendiri bagaimana jalan keluarnya. Saya merasa saya
benar-benar didewasakan. Kehilangan quality time bersama orang-orang terdekat
menjadikan saya membuka ruang untuk orang-orang baru dan menanggalkan kebiasaan
introvert untuk menjadi seseorang yang supel.
Tidak menyenangkan bukan? Tentu saja jika kita
hanya melihat satu sisi saja. Mari kita melihat sisi lain dari seorang mahasiswa,
sisi lain lain dari seorang aktivis. Akan lebih baik jika kita melihat sisi
lain dari semua hal.
Karena hidup adalah pilihan yang tidak akan
terlaksana tanpa keinginan. Maka setiap jalan hidup seseorang tentu akan
berbeda hasil dan prosesnya, sesuai dengan apa yang akan dilipih dan apa yang
menjadi keinginan.
Baiklah, semoga apa yang saya dan teman-teman
tentukan akan menjadi keberuntungan bagi diri masing-masing dan orang-orang
sekitar. Semoga orang-orang terdekat tetap menjadi dekat tanpa perlu menutup
diri dari yang belum dekat. Dan semoga saya dan teman-teman menjadi dewasa
tanpa salah asuhan
0 komentar:
Posting Komentar