Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Jumat, 21 September 2012

Makalah Feminisme dalam Pandangan Islam



MAKALAH
FEMINISME DALAM PANDANGAN ISLAM
Dosen Pengampu;
Muhammad Yusuf Ahmad Hasyim, Lc., M.A.

Disusun oleh :
Khmaidi Hamzah                    (2303411005)
Siti Khotijah                            (2303411001)
Tias Ernawati                          (2303411010)
Rokhati                                   (2303411013)
Muhammad Adityo Ilhamy    (2411411032)
Marya Ulfa                              (1301411005)

FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012






                                                                    

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Membicarakan kaum wanita dan kedudukannya dalam kehidupan sosial tentulah menarik. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilineal (memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan). Diketahui bahwa wanita adalah bagian dari eksistesi komunitas basyari (insan). Kaitannya dengan kaum maskulin, dia adalah sebagai ibu, saudari, istri, bibi. Kehidupan masyarakat tidak akan ada tanpa perempuan dan  laki-laki, memikul beban kebangkitan bersama sesuai dengan fitrah yang telah Allah SWT ciptakan dengan bimbingan petunjuk samawi Pada masa jahiliyah yang beragam, kondisi kaum hawa ini sangat terpojokkan , hak-haknya dirampas,dan pandangan terhadapnya sangat mendiskreditkan, hingga datang Islam membebaskannya dari kezaliman Jahiliyah, mengembalikan dan memuliakannya sebagai insan, anak, istri, ibu dan anggota masyarakat.
Dan dalam masyarakat modern hal tersebut biasa disebut dengan istilah “emansipasi”. Dan di Barat hal ini dikenal dengan istilah “feminisme”. Namun dalam pelaksanaannya, bentuk pemuliaan terhadap perempuan yang terjadi di dunia Barat dan di dunia Islam sangat jauh berbeda.

1.2              Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang feminisme, yaitu sebagai berikut :
a.    Apa itu feminisme?
b.    Bagaimana feminisme yang terjadi di dunia Islam?
c.    Bagaimana sejarah feminisme itu sendiri?
d.   Bagaimana feminisme dalam sudut pandang islam dan non islam?


1.3              Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
a.    Agar mengetahui pengertian feminisme.
b.   Agar mengetahui bagaimana feminisme yang terjadi di dunia islam.
c.    Agar mengetahui bagaimana sejarah feminisme.
d.   Agar mengetahui bagaimana feminisme dalam pandangan islam dan non Islam.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Feminisme
A. Pengertian Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa latin “femina” , yang artinya memiliki sifat keperempuanan. Feminisme  muncul pada tahun 1960-an, atau ada petunjuk lain bahwa feminisme telah muncul dua hingga tiga abad sebelumnya, adalah paham yang menuntut hak sepenuhnya kaum perempuan atas ketimpangan posisi disbanding laki-laki, dan lambat laun hal itu sering disebut sebagai “gerakan feminisme”, yang sebenarnya sudah merupakan bentuk aktualisasi upaya pembebasan diri kaum perempuandari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan.
Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya. Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempaun maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme(diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki serta system patriaki dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis. Adapun seorang feminis muslim menurut Yuhanar Ilyas, selain harus memenuhi criteria tersebut, yakni memiliki kesadaranakan ketidakadilan gender yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam.
            Menurut analisis fenimisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja. Seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.
                                    Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan  itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestic, sementara  lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sector public. Disini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangunan konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang. Konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi .
B. Dasar Pemikiran Feminisme
Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda.
Gelombang pertama.

    Ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of the Rights of Women” tahun 1792 dia mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang public. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Akhirnya pada pada tahun 1920, perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga juga berhasil memenangkan hak kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional.
Teori –Teori Feminisme Gelombang Pertama

Feminism Liberal
    Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal. Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak inividu. Isu yang mereka angkat: akses pendidikan dan kebijakan Negara yang bias gender, hak-hak sipil, politik.

Feminisme Radikal
    System seks atau gender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Isu yang mereka angkat: adanya seksisme, masyarakat patriarki, hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara pria-wanita. 

Feminism Marxis
    Materialism historis Marx yang mengatakan bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan social, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sesorang tetapi eksistensi social mereka yang menentukan kesadaran mereka. Isu yang mereka angkat: ketimpangan ekonomi, kepemilikan property, keluarga dan kehidupan domestic di bawah kapitalisme dan kampanye pengupahan kerja domestic.
Feminis Gelombang Kedua

    Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Dia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. bagi feminis gelombang ke-2 kesetaraan politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. dalam sudut pandang mereka, penindasan sexist tidak hanya berakar pada hukum dan politik, tetapi penyebabnya adalah penanamannya pada setiap aspek kehidupan social manusia, termasuk ekonomi, politik dan perencanaan social, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan personal. Feminism gelombang ke-2 juga mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), sexualitas perempuan dll. Mereka berjuang keras untuk mengubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan politik dan pribadi.
Teori –Teori Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme Psikoanalisa
    Penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche (jiwa/psikis) perempuan, cara perempuan berpikir. Isu yang mereka angkat: egosentrisme laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis envy” , dual parenting.


Feminis Gelombang Ketiga

    Dimulai pada tahun 1980 yang menginginkan keragaman perempuan atau keragaman secara umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang ke-2 yang didominasi oleh oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang yang dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi dsb.
Teori –Teori Feminisme Gelombang Ketiga

Feminism Postmodern
    Seperti aliran postmodernisme menolak pemikiran phalogosentris.

Feminism Multikultural
    Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian cultural. Penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb. Di dalam feminism global bukan hanya ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.


C. Sejarah Feminisme
Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing–masing gelombang keberadaaanya memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet sebagai pelopornya. Terdapat perkumpulan masyarakat ilmiah untuk pertaman kali dan didirikan di Middleburg, Belanda, pada tahun 1875. Baru ketika menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di negara-negara penjajah Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. 
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas bidang pendidikan bagi anak-anak perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan mulau dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah tahun 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminisme.
                                    Seiring perjalanannya, feminisme barat dalam memperjuangkan hak-haknya dan mewujudkan cita-citanya, sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Padahal konsep gender yang mereka populerkan adalah menyamakan dan mensetarakan posisi laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sosial dan budaya tergantung pada tempat atau wilayahnya. Feminisme barat atau sering disebut feminisme arus utama, tidak memperdulikan ragam budaya yang mempengaruhi perempuan itu sendiri, sehingga perempuan yang berada di negara berkembang (dunia ketiga) disebut oleh feminis barat sebagai perempuan yang bodoh, terbelakang, buta huruf, tidak progresif dan tradisional. Bagi mereka, konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada lawan laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.
2.2. Feminisme Islam
A. Lahiranya Feminisme Islam
                                    Sebenarnya kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revolusi gender. Islam hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas perempuan, merubah status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagai second creation (mahluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam mengangkat derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya laki-laki. Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, dan berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Islam mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl pengemban amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga sebuah konsekuensi logis bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya laki-laki dan perempuan memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Gerakan feminis tidak akan pernah berhasil jika tidak kembali mengacu pada ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah). Gagasan-gagasan asing yang diimpor dari Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, hanya akan memperburuk kondisi perempuan dan mengantarkan ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam.
Sehingga, pejuang gender hendaknya kembali pada Quran dan Sunnah, sesungguhnya inilah jalan yang akan mengantarkan kaum perempuan pada kemulyaan, yang akan mengantarkan masyarakat menuju peradaban besar.
Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun ketaatan kepada ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip buku ini menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan bahwa surga terletak di telapak kaki ibu.
B. Konsep Feminisme Islam
Para feminisme muslim mengajukan konsep kesetaraan sebagai solusi terhadap problem ketidaksertaan gender. Asghar, salah satu orang dari mereka, mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al-Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan 2 (dua) hal :
1.   Pertama, dalam pengertiannya yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setaraa .
2.   Kedua, orang yang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang social, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung jawab dan kebebasan.
            Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taqiyyuddin An-Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al-musaawah/equlity) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. Feminisme pasa dasarnya adalah  keseteraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang di bangun di atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan .
            Berdasarkan  konsep kesetaraan, para feminis muslim membatalakan dan mengganti hukum islam yang mereka anggap tidak sesuai dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun mereka tidak menyebutnya sebagai “penggantian” atau “pembatalan” hokum islam, melainkan “penafsiran ulang” atau bahkan “pelusuran” dan “koreksi”. Jadi seolah-olah hukum islam ditafsirkan  keliru, sehingga perlu diluruskan oleh para feminisme muslim. Para mufassir atau mujtahid yang mengistinbath hokum-hukum yang dianggap mengekalkan ketidakadilan gender tersebut, oleh kaum feminis muslim dicap secara sepihak sebagai orang yang terkena bias gender dalam ijtihadnya, serta dinilai hanya bermaksud mengekalkan dominasi laki-laki atau penindasan wanita.
            Untuk menjustifikasi penafsiran mereka, mereka menggunakan metode historis-sosiologis untuk memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan. Tgasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyrakat dalam konteks ruang (tempat) dan waktu (fase sejarah) yang tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah ,maka peraturan dan hukum turut pula berubah. Dalam hal ini, para feminis memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukum-hukum Islam seperti di atas. Karenanya, hukum-hukum itu harus ditafsirkan ulang agar sesuai dan relevan dengan konteks masyarakat modern saat ini.

C. Feminis Muslim
            Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kini isu feminisme mulai masuk ke wilayah Islam. Banyak cendekiawan muslim yang melihatnya sebagai pendekatan baru dalam studi Islam. Istilah feminis muslim mulai diperkenalkan dan digunakan pada tahun 1990-an. Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah tersebut adalah Afsaneh Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Tehran, Yesim Arat dari Turki serta Mai Yamani dari Saudi melalui bukunya Feminisme and Islam yang diterbitkan pada tahun 1996. Sedangkan Mesir yang dikatakan sebagai tempat terlahirnya feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda Shaarawi yang mendirikan The Egyptian Feminis Union pada 1923. Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama dengan feminis Barat. Namun demikian, tidak semua secara terbuka merasa nyaman menisbahkan atau mengaitkan diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.
            Prioritas misi kebanyakan kaum feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan dengan wanita khusunya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa ulang teks agama, al-Quran dan al-Sunnah, serta menafsirkannya dari perspektif yang berbeda dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh al-Quran tidak terlaksana disebabkan para mufassirin yang umumnya pria telah menghasilkan tafsir al-Quran yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. Feminis muslim juga berpendapat bahwa terdapat bias gender (footnote) yang kental dalam hukum-hukum syariah yang diambil dari hadist-hadist Rasulullah SAW atas alasan perawi hadist yang terdiri dari kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim justru bertindak antagonis terhadap beberapa hukum dalam al-Quran yang berkaitan dengan wanita.

D. Kekeliruan Feminis Muslim
            Penyimpangan pemikiran yang dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara pandang. Bagi feminis, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kaca mata Barat, sehingga mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada contoh kasus yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki. Menurut Hibah Rauf Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam masyarakat Islam. Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis Barat untuk menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga dan masyarakat dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk menggambarkan sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota keluarganya. Istilah ini juga berkaitan dengan istilah ‘familia’ yang dalam bahasa Latin bermakna ladang dan harta pemilikan bagi seorang bapak. Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai dinisbahkan kepada ajaran Islam dan hukum Islam. 
Di Barat, dalam perkembangannya, kaum feminis berusaha merombak metode penafsiran Bible, mengingat penindasan perempuan di Barat merupakan akibat penerapan doktrin-doktrin gereja yang bersumber dari Bible. Metode yang mereka gunakan dikenal dengan metode hermeneutika.
            Menurut kaum feminis muslim, penafsiran teks al-Quran oleh para mufassirin telah terpengaruh oleh budaya patriarki yang berkembang di lingkungan para mufassirin. Sehingga perlu adanya metode penafsiran baru, penafsiran dengan cara yang sama seperti yang digunakan para feminis di Barat dalam menafsirkan Bible. Namun tidak semudah itu, ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
1.         Validitas dan kebenaran konsep ‘gender equality’
Masalah konsep ‘gender equality’ yang digagas kaum feminis dalam masyarakat Islam , seperti Amina Wadud, Musdah Mulia dsb, saat ini sudah terbukti merupakan konsep yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mengingat latar belakang gerakan feminis yang merupakan gerakan anti gereja di Barat dan ideology marxis yang tidak menerima perbedaan fithri dan jasadiah antara pria dan wanita.
2.         Perbedaan sifat antara teks al-Quran dan teks Bible
Dalam keyakinan kaum muslimin, al-Quran, baik lafadz maupun maknanya, adalah dari Allah swt. Tidak ada campur tangan manusia, termasuk dari Nabi Muhammad saw sendiri. Karena Rasulullah saw senantiasa memisahkan, mana yang merupakan teks al-Quran yang berasal dari wahyu, dan mana yang ucapan beliau sendiri
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari tuhan. Meskipun demikian, diakui bahwa unsur-unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena yang dianggap merupakan wahyu tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible, dan bukan teks Bible itu sendiri, maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible dalam bahasa apa pun adalah firman tuhan.
            Dengan karakter Bible semacam ini, maka pengaplikasian hermeneutika untuk al-Quran senantiasa, baik secara terbuka atau tidak, berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa teks al-Quran adalah teks budaya, teks yang sudah memanusiawi dan sebagainya. Dengan menempatkan posisi teks al-Quran setara dengan teks Bible, dan memasukkan unsur konteks budaya dan sosial dalam penafsiran teks al-Quran, maka yang terjadi adalah pembuangan makna asal teks itu sendiri.
Sebagai contoh, larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-muslim dalam QS Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:
            “Hai orang-orang yang beriman, apabila dating berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,   maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Tetapi dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa berubah. Aktifis gender dan pluralism agama, Musdah Mulia, menulis tentang ayat ini:
            “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat tersebut, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangan memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan yang dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
            Sepanjang sejarah Islam, banyak kondisi dimana kaum muslim tidak berperang dengan kaum kafir. Bahkan selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah Islam. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu ada kaitannya dengan peperangan, sehingga halal saja muslimah menikah dengan laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan muslim.
E. Jalan Tengah
            Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa di satu sisi ada sebagian umat muslim yang bertindak overprotective atau biasa dikenal golongan konservatif, sedangkan di sisi lain ada umat Islam yang berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada diantara dua titik ekstrim, dimana salah satunya berpikir secara tradisional dan yang lainnya berpikir secara liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya, dalam tradisi Islam terdapat alternatif ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni mereka dikenal dengan sebutan golongan Islamis, yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang bertentangan, yaitu konservatif dan liberal. Sebagai contoh, ketika Islam menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi. Sementara golongan konservatif juga memilih hukum yang kebih ketat, yaitu kewajiban menutup seluruh muka dan tapak tangan untuk bersikap berhati-hati. Namun demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak disalahkan oleh golongan Islamis.
            Dalam banyak perkara, pendekatan konservatif adalah bersifat protektif bahkan terkadang dikatakan over protective, sehingga sebagian ulama Afganistan ketika zaman pemerintahan Taliban tidak membenarkan kaum wanita mendapatkan haknya dalam pendidikan. Sedangkan bagi golongan Islamis, pendidikan bukan saja merupakan hak, akan tetapi ia adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat seperti di atas hanyalah berdasarkan ijtihad subjektif ulama, karena baik nash al-Quran maupun Hadist sama sekali tidak memberikan justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.
Meskipun golongan Islamis mengambil jalan tengah dan sederhana yang berbeda dengan ulama tradisionalis, namun golongan ini tetap mempertahankan pandangan Islam berkaitan dengan wanita asalkan mempunyai dasar yang kuat, baik dari nash al-Quran maupun Sunnah. Dari segi metodologi, golongan Islamis berpendapat bahwa ijtihad ulama silam khususnya yang berbentuk pandangan pribadi tidak semestinya diterima pada hari ini. Sesuai dengan tuntutan Islam, ilmuwan pada hari ini perlu senantiasa berijtihad dalam perkara-perkara yang dibenarkan oleh shara’. Kecenderungan ulama untuk taqlid terhadap segala keputusan ulama silam menyebabkan agama Islam dipandang tidak sesuai dan ketinggalam zaman.
2.3.            Peranan Wanita Dalam Keluarga
            Islam memberikan persamaan antara pria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian feminis yang mengatakan Islam adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist (pembenci kaum wanita). Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigma yang berbeda, sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan atau kesamaan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan wanita, termasuk dalam hal ibadah. Oleh karena itu, feminis menyerukan hak wanita untuk menjadi imam dan khatib shalat jum’at, menjadi pemimpin tertinggi (khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak mentalakkan suami ?(melafazkan talak).
Adapun bagi golongan Islamis, kesetaraan tidak semestinya bermakna penyamarataan. Dalam kaca mata Islam, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya sehingga perlu mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan dan fitrah dalam menempatkan seseorang yang terbaik untuk tugas tertentu. Islam meletakkan nilai-nilai moral di kedudukan yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat nilai tersebut mempengaruhi setiap peraturan dan ketentuan. Wanita diberikan peranan secara khas dan eksklusif untuk membesarkan anak karena wanita diberikan keistimewaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum pria dari segi biologi-fisiologi, mental dan emosi.
Melihat dari sisi yang positif, kerjasama yang baik dari pria-wanita semestinya menghasilkan kesempurnaan dan keharmonian. Berbanding jika pria-wanita memiliki keistimewaan yang sama, maka keadaan seperti ini akan menghilangkan perasaan saling membutuhkan antara satu sama lainnya. Selain itu, kepemimpinan yang dikehendaki dalam Islam adalah atas dasar kasih saying dan kerja sama, bukanlah kepemimpinan satu arah.
2.4.             Kepemimpinan Pria Terhadap Wanita    
“kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, oleh Karen Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga karena orang-orang lelaki telah membelanjakan (member nafkah) sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan shaleh itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemeliharaan Allah dan pertolonganNya dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan durhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka tetap bersikukuh) pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan (kalau juga masih membandel) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya); kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa:34)
            Para ulama dan mufassirin telah menafsirkan perkataan qawāmah dengan tafsiran yang berbeda. Al-Tabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai pelaksana tugas (nāfidhī al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir mengatakan qawāmah bermakna lelaki adalah ketua dan pembesar rumah tangga karena lelaki lebih baik dari wanita. Dalam tafsir al-Jalalain pula maksud qawwāmūn ialah lelaki sebagai musallitūn (penguasa). Walaupun penafsiran dua ulama terakhir di atas mungkin tampak bias jender, namun penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangkan. Ulama kontemporer seperti Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawāmah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdil (pemilikan dan diskriminasi/kelebihan). Sayyid Qutb dalam tafsirnya menulis, yang dimaksudkan dalam qawāmah bukan semata-mata pemimpin, tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan kehidupan/penghidupan). Bagi Yusuf Qaradawi pula, qawāmah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan amanah. Oleh Karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan bukanlah satu kemuliaan dan kelebihan melainkan satu tanggung jawab dan beban yang berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif Barat yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.
Jika dilihat dan dikaji lebih teliti, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat dalam perbedaan penafsiran terhadap perkataan qawāmah. Secara dasarnya, para ulama setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan memberikan perlindungan begi wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakkan karena ia jelas dalam pesan keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf al-Qaradawi, Sayyid Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan tafsiran ulama-ulama terdahulu bahwa ayat tersebut meletakkan pria sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang seimbang bagi pria dan wanita. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing, berdasarkan fitrah alami wanita yang berbeda dengan pria. Oleh karena itu, bukanlah kerendahan bagi wanita dan kelebihan bagi pria, akan tetapi memang fitrah semula-lah bagi keduanya yang menjadi pertimbangan agar segala tugas dapat diemban dengan baik.

















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Feminisme sebenarnya sudah ada sejak dua abad yang lalu jauh sebelum orang-orang Barat mengenal feminisme. Tapi penggunaan istilah feminisme pertama kali dipopulerkan di barat. Feminisme adalah suatu bentuk pengakuan atas posisi perempuan di masyarakat yang disejajarkan dengan kaum pria dengan tidak hanya melihat perbedaan jenis kelamin saja. Feminisme juga tidak hanya di barat saja, tetapi juga sudah merambah masuk ke dunia Islam. Menurut feminis muslim menganggap bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan, otomatis menyebabkan kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Dan  dalam Islam sendiri dikatakan bahwa Islam memandang laki-laki dan perempaun secara setara juga, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dalam realitanya, banyak feminis Islam yang lebih mengutaman logika dari pada ajaran agama dalam menyikapi suatu persoalan.
Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun ketaatan kepada ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip buku ini menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan bahwa surga terletak di telapak kaki ibu.








DAFTAR PUSTAKA
Adam Patel, Ismail. 2005. Perempuan, Feminisme, Dan Islam. Jakarta. Pustaka Thariqul Izzah
Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 2000. Jatidiri Wanita Muslimah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Dewi Kania, Dinar. 2010. Islamia: Isu Gender, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Fahmi Zarkasyi. 2010. Islamia: Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Husaini, Adian. 2010. Islamia: Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam . Jakarta: Khairul Bayan Press.
Elmubarok, Zaim. 2010. Pengantar Ilmu Budaya. Jogjakarta:Pelangi Publishing
Baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2009_07_01_earchive.html


5 komentar:

Unknown mengatakan...

syukron ukhti..berguna sangat..

Unknown mengatakan...

sama-sama :)
ini ndak dek amina pba smt 1??

Anonim mengatakan...

terimakasih atas informasinya..

Kasa mengatakan...

maksih yyaaaa

Unknown mengatakan...

izin copas min buat referensi..
sukses selalu....

Posting Komentar