Senin, 24 September 2012
"Mimosa pudica" cerminan wanita sholehah
apa sih Mimosa pudica? jenis hewan-kah? atau nama makanan? STOPPP...!!! berhenti mengira-ngira sebelum salah mengira.
Mimosa pudica adalah perdu pendek anggota suku polong-polongan yang mudah dikenal karenadaun-daunnya yang dapat secara cepat menguncup dengan sendirinya ketika disentuh. kita biasa mengenal tumbuhan ini dengan sebutan putri malu. nah... Mimosa pudica sendiri adalah nama latin dari tumbuhan ini.
sudah bisa ditebak, pasti temen-temen penasaran apa sih hubungannya putri malu dengan wanita sholehah. iyaa kan???? nah lo ketauan. :P
jadi begini pemirsa....
pernah kah kalian mengamati keunikan-keunikan yang ada di tumbuhan ini?
berikut akan saya jelaskan keunikan-keunikan putri malu yang seringkali terabaikan.
Rasulullah memerintahkan, hendaknya para wanita mengambil 4 pelajaran yang berharga dari putri malu. hal ini berawal ketika beliau pergi jalan-jalan bersama putrinya sayyidatina fatimah az-zahra, setibanya mereka di bawah pohon tamar, fatimah menginjak putri malu, kakinya berdarah lalu mengadu kesakitan. fatimah berkata "apalah gunanya pohon itu berada disini, dengan nada sedikit marah"
dengan tenang kemudian rasulullah berkata bahwasanya putri malu berkaitan erat dengan wanita. para wanita hendaknya mengambil pelajaran daripada pohon ini 4 aspek. yaitu:
1. putri malu akan mengucup apabila disentuh. hal ini diibaratkan bahwa wanita perlu mempunyai rasa malu.
2. putri malu mempunyai duri yang tajam untuk melindungi dirinya. wanita hendaknya menjaga dirinya sebagai wanita muslim.
3. putri malu mempunyai akara ayng kuat mencengkram bumi. dari hal ini, wanita sholehah hendaknya mempunyai iman yang kuat dan memiliki keterikatan yang kuat pula terhadap Allah Rabbul 'alamin.
4.putri malu akan menguncup dengan sendirinya saat senja s=datang. hal ini diibaratkan bahwa saat senja para wanita hendaknya kembali ke rumahnya.
nah.... itu dia nasihat Rasulullah kepada para wanita melalui putri malu. tidak disangka tumbuhan kecil ini ternyata mempunyai pelajaran besar untuk kita. mulailah memperhatikan hal-hal kecil tanpa mengabaikan yang besar kawan. :)
Label:
simple but meaningfull
Jumat, 21 September 2012
Makalah Feminisme dalam Pandangan Islam
MAKALAH
FEMINISME DALAM
PANDANGAN ISLAM
Dosen Pengampu;
Muhammad Yusuf Ahmad
Hasyim, Lc., M.A.
Disusun oleh :
Khmaidi Hamzah (2303411005)
Siti Khotijah (2303411001)
Tias Ernawati (2303411010)
Rokhati (2303411013)
Muhammad Adityo Ilhamy (2411411032)
Marya Ulfa (1301411005)
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Membicarakan kaum wanita dan kedudukannya dalam
kehidupan sosial tentulah menarik. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum
bersifat patrilineal (memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan).
Diketahui bahwa wanita adalah bagian dari eksistesi komunitas basyari (insan).
Kaitannya dengan kaum maskulin, dia adalah sebagai ibu, saudari, istri, bibi.
Kehidupan masyarakat tidak akan ada tanpa perempuan dan laki-laki, memikul beban kebangkitan bersama
sesuai dengan fitrah yang telah Allah SWT ciptakan dengan bimbingan petunjuk
samawi Pada masa jahiliyah yang beragam, kondisi kaum hawa ini sangat
terpojokkan , hak-haknya dirampas,dan pandangan terhadapnya sangat
mendiskreditkan, hingga datang Islam membebaskannya dari kezaliman Jahiliyah,
mengembalikan dan memuliakannya sebagai insan, anak, istri, ibu dan anggota
masyarakat.
Dan dalam masyarakat modern hal tersebut biasa
disebut dengan istilah “emansipasi”. Dan di Barat hal ini dikenal dengan
istilah “feminisme”. Namun dalam pelaksanaannya, bentuk pemuliaan terhadap
perempuan yang terjadi di dunia Barat dan di dunia Islam sangat jauh berbeda.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini akan membahas tentang feminisme, yaitu sebagai berikut :
a. Apa itu feminisme?
b. Bagaimana feminisme yang
terjadi di dunia Islam?
c. Bagaimana sejarah feminisme
itu sendiri?
d. Bagaimana feminisme dalam
sudut pandang islam dan non islam?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
a. Agar mengetahui pengertian
feminisme.
b. Agar mengetahui bagaimana
feminisme yang terjadi di dunia islam.
c. Agar mengetahui bagaimana
sejarah feminisme.
d. Agar mengetahui bagaimana
feminisme dalam pandangan islam dan non Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Feminisme
A. Pengertian Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa latin “femina” , yang artinya memiliki sifat
keperempuanan. Feminisme muncul pada
tahun 1960-an, atau ada petunjuk lain bahwa feminisme telah muncul dua hingga
tiga abad sebelumnya, adalah paham yang menuntut hak sepenuhnya kaum perempuan
atas ketimpangan posisi disbanding laki-laki, dan lambat laun hal itu sering
disebut sebagai “gerakan feminisme”, yang sebenarnya sudah merupakan bentuk
aktualisasi upaya pembebasan diri kaum perempuandari berbagai ketimpangan
perlakuan dalam segala aspek kehidupan.
Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan
oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua
jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan
dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan
lainnya. Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “suatu kesadaran akan
penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja,
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempaun maupun laki-laki untuk
mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali
adanya sexisme(diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki serta
system patriaki dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang
feminis. Adapun seorang feminis muslim menurut Yuhanar Ilyas, selain harus
memenuhi criteria tersebut, yakni memiliki kesadaranakan ketidakadilan gender
yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama
Islam dan mempersoalkan ajaran Islam.
Menurut
analisis fenimisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya
kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks.
Sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang
sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat
yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah.
Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari
perbedaan jenis kelamin itu saja. Seperti bahwa perempuan itu bisa hamil,
melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.
Adapun konsep gender,
menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi
merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang
sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan
itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestic,
sementara lelaki itu kuat, rasional,
layak berperan di sector public. Disini, ajaran agama diletakkan dalam posisi
sebagai salah satu pembangunan konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui
proses panjang. Konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan
Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa
diubah-ubah lagi .
B. Dasar Pemikiran Feminisme
Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak”
dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme
akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian
feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Secara
umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang
berbeda-beda.
Gelombang pertama.
Ditandai dengan publikasi Mary
Wollstonecraft yang berjudul “Vindication
of the Rights of Women” tahun 1792 dia mendeskripsikan bahwa kerusakan
psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan
perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari
ruang public. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak
politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi
bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Akhirnya
pada pada tahun 1920, perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam
pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga juga berhasil memenangkan hak
kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses
yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional.
|
Teori –Teori Feminisme
Gelombang Pertama
Feminism Liberal
Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh
akal. Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas,
kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak inividu. Isu
yang mereka angkat: akses pendidikan dan kebijakan Negara yang bias gender,
hak-hak sipil, politik.
Feminisme Radikal
System seks atau gender merupakan dasar
penindasan terhadap perempuan. Isu yang mereka angkat: adanya seksisme,
masyarakat patriarki, hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara
pria-wanita.
Feminism Marxis
Materialism historis Marx yang mengatakan
bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan
social, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi
sesorang tetapi eksistensi social mereka yang menentukan kesadaran mereka.
Isu yang mereka angkat: ketimpangan ekonomi, kepemilikan property, keluarga
dan kehidupan domestic di bawah kapitalisme dan kampanye pengupahan kerja
domestic.
|
Feminis Gelombang Kedua
Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya
publikasi dari Simone de Beauvoir’s The
Second Sex. Dia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari
biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap kaum perempuan. bagi feminis gelombang ke-2 kesetaraan politik dan
hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. dalam
sudut pandang mereka, penindasan sexist
tidak hanya berakar pada hukum dan politik, tetapi penyebabnya adalah
penanamannya pada setiap aspek kehidupan social manusia, termasuk ekonomi,
politik dan perencanaan social, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi
sehari-hari dan hubungan personal. Feminism gelombang ke-2 juga mulai
menggugat institusi pernikahan, motherhood,
hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), sexualitas perempuan dll.
Mereka berjuang keras untuk mengubah secara radikal setiap aspek dari
kehidupan politik dan pribadi.
|
Teori –Teori Feminisme
Gelombang Kedua
Feminisme Psikoanalisa
Penjelasan mendasar penindasan perempuan
terletak pada psyche (jiwa/psikis)
perempuan, cara perempuan berpikir. Isu yang mereka angkat: egosentrisme
laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis envy” , dual parenting.
|
Feminis Gelombang Ketiga
Dimulai pada tahun 1980
yang menginginkan keragaman perempuan atau keragaman secara umum, secara
khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit berwarna
dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka
tidak terwakili oleh feminis gelombang ke-2 yang didominasi oleh oleh wanita
kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan kulit
putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang yang
dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan
heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi dsb.
|
Teori –Teori Feminisme
Gelombang Ketiga
Feminism Postmodern
Seperti aliran postmodernisme menolak
pemikiran phalogosentris.
Feminism Multikultural
Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi
lebih menekankan kajian cultural. Penindasan terhadap perempuan tidak dapat
hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi
ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb. Di dalam feminism
global bukan hanya ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan
dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.
|
C. Sejarah Feminisme
Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh
kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing–masing gelombang
keberadaaanya memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran
era pencerahan yang terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan
Marquis de Condoracet sebagai pelopornya. Terdapat perkumpulan masyarakat
ilmiah untuk pertaman kali dan didirikan di Middleburg, Belanda, pada tahun
1875. Baru ketika menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di
negara-negara penjajah Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada
abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas bidang pendidikan bagi
anak-anak perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah
gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan mulau dari feminis
gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960,
kemudian gelombang kedua setelah tahun 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau
Post Feminisme.
Seiring
perjalanannya, feminisme barat dalam memperjuangkan hak-haknya dan mewujudkan
cita-citanya, sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang
budaya yang berbeda dengan mereka. Padahal konsep gender yang mereka populerkan
adalah menyamakan dan mensetarakan posisi laki-laki dan perempuan yang
ditentukan oleh sosial dan budaya tergantung pada tempat atau wilayahnya.
Feminisme barat atau sering disebut feminisme arus utama, tidak memperdulikan
ragam budaya yang mempengaruhi perempuan itu sendiri, sehingga perempuan yang
berada di negara berkembang (dunia ketiga) disebut oleh feminis barat sebagai
perempuan yang bodoh, terbelakang, buta huruf, tidak progresif dan tradisional.
Bagi mereka, konsep gender yakni suatu sifat
yang melekat pada lawan laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
perkasa.
2.2. Feminisme Islam
A. Lahiranya Feminisme
Islam
Sebenarnya
kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revolusi gender. Islam hadir sebagai
ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas perempuan, merubah
status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagai second creation
(mahluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam mengangkat
derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya laki-laki.
Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, dan
berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Islam
mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl pengemban
amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan emansipasi
perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh risalah yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan
manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global
yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga sebuah konsekuensi
logis bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya laki-laki dan perempuan memiliki
missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk
menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan
menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki
peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta
mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Gerakan feminis tidak akan pernah berhasil jika
tidak kembali mengacu pada ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah). Gagasan-gagasan
asing yang diimpor dari Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, hanya
akan memperburuk kondisi perempuan dan mengantarkan ke dalam jurang kehancuran
yang lebih dalam.
Sehingga, pejuang gender hendaknya kembali pada
Quran dan Sunnah, sesungguhnya inilah jalan yang akan mengantarkan kaum
perempuan pada kemulyaan, yang akan mengantarkan masyarakat menuju peradaban
besar.
Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa
kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam
seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun ketaatan kepada
ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip buku ini
menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga
kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan bahwa surga
terletak di telapak kaki ibu.
B. Konsep Feminisme Islam
Para feminisme muslim mengajukan konsep
kesetaraan sebagai solusi terhadap problem ketidaksertaan gender. Asghar, salah
satu orang dari mereka, mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan
perempuan dalam Al-Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan 2 (dua) hal :
1. Pertama, dalam pengertiannya
yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang
setaraa .
2. Kedua, orang yang harus
mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam
bidang social, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan
akad nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur
harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih
atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung jawab dan
kebebasan.
Secara
ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taqiyyuddin An-Nabhani ialah
menjadikan kesetaraan (al-musaawah/equlity) sebagai batu loncatan atau jalan
untuk meraih hak-hak perempuan. Feminisme pasa dasarnya adalah keseteraan kedudukan laki-laki dan perempuan.
Sementara ide cabang yang di bangun di atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak
antara laki-laki dan perempuan .
Berdasarkan konsep kesetaraan, para feminis muslim
membatalakan dan mengganti hukum islam yang mereka anggap tidak sesuai dengan
konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun mereka tidak
menyebutnya sebagai “penggantian” atau “pembatalan” hokum islam, melainkan
“penafsiran ulang” atau bahkan “pelusuran” dan “koreksi”. Jadi seolah-olah
hukum islam ditafsirkan keliru, sehingga
perlu diluruskan oleh para feminisme muslim. Para mufassir atau mujtahid yang
mengistinbath hokum-hukum yang dianggap mengekalkan ketidakadilan gender
tersebut, oleh kaum feminis muslim dicap secara sepihak sebagai orang yang
terkena bias gender dalam ijtihadnya, serta dinilai hanya bermaksud mengekalkan
dominasi laki-laki atau penindasan wanita.
Untuk
menjustifikasi penafsiran mereka, mereka menggunakan metode historis-sosiologis
untuk memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Metode ini mengasumsikan
bahwa kondisi sosial masyarakat merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai
peraturan. Tgasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum
pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyrakat dalam konteks ruang (tempat)
dan waktu (fase sejarah) yang tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah
,maka peraturan dan hukum turut pula berubah. Dalam hal ini, para feminis
memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukum-hukum
Islam seperti di atas. Karenanya, hukum-hukum itu harus ditafsirkan ulang agar
sesuai dan relevan dengan konteks masyarakat modern saat ini.
C. Feminis Muslim
Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kini isu feminisme mulai masuk ke
wilayah Islam. Banyak cendekiawan muslim yang melihatnya sebagai pendekatan
baru dalam studi Islam. Istilah feminis muslim mulai diperkenalkan dan
digunakan pada tahun 1990-an. Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah
tersebut adalah Afsaneh Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Tehran, Yesim
Arat dari Turki serta Mai Yamani dari Saudi melalui bukunya Feminisme and Islam yang diterbitkan
pada tahun 1996. Sedangkan Mesir yang dikatakan sebagai tempat terlahirnya
feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda Shaarawi yang mendirikan The Egyptian Feminis Union pada 1923.
Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama dengan feminis Barat. Namun
demikian, tidak semua secara terbuka merasa nyaman menisbahkan atau mengaitkan
diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.
Prioritas
misi kebanyakan kaum feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama
berkaitan dengan wanita khusunya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa
ulang teks agama, al-Quran dan al-Sunnah, serta menafsirkannya dari perspektif
yang berbeda dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim
mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh al-Quran
tidak terlaksana disebabkan para mufassirin yang umumnya pria telah
menghasilkan tafsir al-Quran yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat
kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. Feminis muslim juga
berpendapat bahwa terdapat bias gender
(footnote) yang kental dalam hukum-hukum syariah yang diambil dari
hadist-hadist Rasulullah SAW atas alasan perawi hadist yang terdiri dari
kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh
amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim justru bertindak antagonis
terhadap beberapa hukum dalam al-Quran yang berkaitan dengan wanita.
D. Kekeliruan Feminis Muslim
Penyimpangan
pemikiran yang dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara
pandang. Bagi feminis, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kaca mata
Barat, sehingga mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada
contoh kasus yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki.
Menurut Hibah Rauf Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam
masyarakat Islam. Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis
Barat untuk menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga
dan masyarakat dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk
menggambarkan sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota
keluarganya. Istilah ini juga berkaitan dengan istilah ‘familia’ yang dalam bahasa Latin bermakna ladang dan harta
pemilikan bagi seorang bapak. Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai
dinisbahkan kepada ajaran Islam dan hukum Islam.
Di Barat,
dalam perkembangannya, kaum feminis berusaha merombak metode penafsiran Bible,
mengingat penindasan perempuan di Barat merupakan akibat penerapan
doktrin-doktrin gereja yang bersumber dari Bible. Metode yang mereka gunakan
dikenal dengan metode hermeneutika.
Menurut kaum feminis muslim,
penafsiran teks al-Quran oleh para mufassirin telah terpengaruh oleh budaya
patriarki yang berkembang di lingkungan para mufassirin. Sehingga perlu adanya
metode penafsiran baru, penafsiran dengan cara yang sama seperti yang digunakan
para feminis di Barat dalam menafsirkan Bible. Namun tidak semudah itu, ada 2
hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
1.
Validitas dan
kebenaran konsep ‘gender equality’
Masalah konsep
‘gender equality’ yang digagas kaum feminis dalam masyarakat Islam , seperti
Amina Wadud, Musdah Mulia dsb, saat ini sudah terbukti merupakan konsep yang
tidak sesuai dengan syariat Islam. Mengingat latar belakang gerakan feminis
yang merupakan gerakan anti gereja di Barat dan ideology marxis yang tidak
menerima perbedaan fithri dan jasadiah antara pria dan wanita.
2.
Perbedaan
sifat antara teks al-Quran dan teks Bible
Dalam
keyakinan kaum muslimin, al-Quran, baik lafadz maupun maknanya, adalah dari
Allah swt. Tidak ada campur tangan manusia, termasuk dari Nabi Muhammad saw
sendiri. Karena Rasulullah saw senantiasa memisahkan, mana yang merupakan teks
al-Quran yang berasal dari wahyu, dan mana yang ucapan beliau sendiri
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
Berbeda dengan
al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut konsep
Kristen, mendapat inspirasi dari tuhan. Meskipun demikian, diakui bahwa
unsur-unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena
yang dianggap merupakan wahyu tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible, dan
bukan teks Bible itu sendiri, maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan
Bible dalam bahasa apa pun adalah firman tuhan.
Dengan karakter Bible
semacam ini, maka pengaplikasian hermeneutika untuk al-Quran senantiasa, baik
secara terbuka atau tidak, berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran
sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa teks al-Quran adalah teks budaya, teks
yang sudah memanusiawi dan sebagainya. Dengan menempatkan posisi teks al-Quran
setara dengan teks Bible, dan memasukkan unsur konteks budaya dan sosial dalam
penafsiran teks al-Quran, maka yang terjadi adalah pembuangan makna asal teks
itu sendiri.
Sebagai contoh, larangan pernikahan wanita
muslimah dengan pria non-muslim dalam QS Mumtahanah:10, yang dengan tegas
menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila dating berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka,
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka
janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka.”
Tetapi dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa
berubah. Aktifis gender dan pluralism agama, Musdah Mulia, menulis tentang ayat
ini:
“Jika kita memahami
konteks waktu turunnya ayat tersebut, larangan ini sangat wajar mengingat kaum
kafir Quraisy sangan memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah
peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan
dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan.
Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan
itu tidak ada lagi, maka larangan yang dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
Sepanjang sejarah
Islam, banyak kondisi dimana kaum muslim tidak berperang dengan kaum kafir.
Bahkan selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah Islam.
Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu
ada kaitannya dengan peperangan, sehingga halal saja muslimah menikah dengan
laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan muslim.
E. Jalan Tengah
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa di satu sisi
ada sebagian umat muslim yang bertindak overprotective
atau biasa dikenal golongan konservatif, sedangkan di sisi lain ada umat
Islam yang berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada
diantara dua titik ekstrim, dimana salah satunya berpikir secara tradisional
dan yang lainnya berpikir secara liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya, dalam
tradisi Islam terdapat alternatif ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni
mereka dikenal dengan sebutan golongan Islamis, yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara
dua pendekatan yang bertentangan, yaitu konservatif dan liberal. Sebagai
contoh, ketika Islam menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan
di kalangan ulama, baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang
wajib ditutupi. Sementara golongan konservatif juga memilih hukum yang kebih
ketat, yaitu kewajiban menutup seluruh muka dan tapak tangan untuk bersikap
berhati-hati. Namun demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak
disalahkan oleh golongan Islamis.
Dalam banyak perkara, pendekatan konservatif adalah
bersifat protektif bahkan terkadang dikatakan over protective, sehingga
sebagian ulama Afganistan ketika zaman pemerintahan Taliban tidak membenarkan
kaum wanita mendapatkan haknya dalam pendidikan. Sedangkan bagi golongan
Islamis, pendidikan bukan saja merupakan hak, akan tetapi ia adalah kewajiban
bagi setiap muslim tanpa melihat jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat
seperti di atas hanyalah berdasarkan ijtihad subjektif ulama, karena baik nash
al-Quran maupun Hadist sama sekali tidak memberikan justifikasi terhadap
batasan hak wanita dalam pendidikan.
Meskipun
golongan Islamis mengambil jalan tengah dan sederhana yang berbeda dengan ulama
tradisionalis, namun golongan ini tetap mempertahankan pandangan Islam
berkaitan dengan wanita asalkan mempunyai dasar yang kuat, baik dari nash al-Quran maupun Sunnah. Dari segi
metodologi, golongan Islamis berpendapat bahwa ijtihad ulama silam khususnya
yang berbentuk pandangan pribadi tidak semestinya diterima pada hari ini.
Sesuai dengan tuntutan Islam, ilmuwan pada hari ini perlu senantiasa berijtihad
dalam perkara-perkara yang dibenarkan oleh shara’. Kecenderungan ulama untuk taqlid terhadap segala keputusan ulama
silam menyebabkan agama Islam dipandang tidak sesuai dan ketinggalam zaman.
2.3.
Peranan Wanita Dalam Keluarga
Islam
memberikan persamaan antara pria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh
cendekiawan Islam serta sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian
feminis yang mengatakan Islam adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist (pembenci kaum wanita).
Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigma yang berbeda,
sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan
feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan
atau kesamaan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan
wanita, termasuk dalam hal ibadah. Oleh karena itu, feminis menyerukan hak
wanita untuk menjadi imam dan khatib shalat jum’at, menjadi pemimpin tertinggi
(khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak
mentalakkan suami ?(melafazkan talak).
Adapun
bagi golongan Islamis, kesetaraan tidak semestinya bermakna penyamarataan.
Dalam kaca mata Islam, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya
sehingga perlu mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan dan fitrah
dalam menempatkan seseorang yang terbaik untuk tugas tertentu. Islam meletakkan
nilai-nilai moral di kedudukan yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat nilai
tersebut mempengaruhi setiap peraturan dan ketentuan. Wanita diberikan peranan
secara khas dan eksklusif untuk membesarkan anak karena wanita diberikan
keistimewaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum pria dari segi
biologi-fisiologi, mental dan emosi.
Melihat
dari sisi yang positif, kerjasama yang baik dari pria-wanita semestinya
menghasilkan kesempurnaan dan keharmonian. Berbanding jika pria-wanita memiliki
keistimewaan yang sama, maka keadaan seperti ini akan menghilangkan perasaan
saling membutuhkan antara satu sama lainnya. Selain itu, kepemimpinan yang
dikehendaki dalam Islam adalah atas dasar kasih saying dan kerja sama, bukanlah
kepemimpinan satu arah.
2.4.
Kepemimpinan Pria Terhadap Wanita
“kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal
yang bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, oleh Karen Allah telah
melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang
perempuan, dan juga karena orang-orang lelaki telah membelanjakan (member
nafkah) sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan shaleh itu ialah
yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara (kehormatan dirinya
dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan
pemeliharaan Allah dan pertolonganNya dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang
melakukan perbuatan durhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan
(jika mereka tetap bersikukuh) pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
(kalau juga masih membandel) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang
bertujuan mengajarnya); kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa:34)
Para ulama dan mufassirin telah menafsirkan perkataan qawāmah dengan tafsiran yang berbeda.
Al-Tabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai pelaksana tugas (nāfidhī al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir mengatakan qawāmah bermakna lelaki adalah ketua dan pembesar rumah tangga
karena lelaki lebih baik dari wanita. Dalam tafsir al-Jalalain pula maksud qawwāmūn ialah lelaki sebagai musallitūn (penguasa). Walaupun
penafsiran dua ulama terakhir di atas mungkin tampak bias jender, namun
penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangkan. Ulama kontemporer seperti
Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawāmah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdil (pemilikan
dan diskriminasi/kelebihan). Sayyid Qutb dalam tafsirnya menulis, yang
dimaksudkan dalam qawāmah bukan
semata-mata pemimpin, tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan
kehidupan/penghidupan). Bagi Yusuf Qaradawi pula, qawāmah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan
amanah. Oleh Karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan
bukanlah satu kemuliaan dan kelebihan melainkan satu tanggung jawab dan beban
yang berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif
Barat yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.
Jika
dilihat dan dikaji lebih teliti, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat dalam
perbedaan penafsiran terhadap perkataan qawāmah.
Secara dasarnya, para ulama setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan
memberikan perlindungan begi wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakkan karena
ia jelas dalam pesan keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf
al-Qaradawi, Sayyid Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan
tafsiran ulama-ulama terdahulu bahwa ayat tersebut meletakkan pria sebagai
pemimpin dalam rumah tangga.
Al-Quran
telah menetapkan tugas yang seimbang bagi pria dan wanita. Tugas ini diberikan
sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing, berdasarkan fitrah alami
wanita yang berbeda dengan pria. Oleh karena itu, bukanlah kerendahan bagi
wanita dan kelebihan bagi pria, akan tetapi memang fitrah semula-lah bagi
keduanya yang menjadi pertimbangan agar segala tugas dapat diemban dengan baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa Feminisme sebenarnya sudah ada sejak dua abad yang lalu jauh
sebelum orang-orang Barat mengenal feminisme. Tapi penggunaan istilah feminisme
pertama kali dipopulerkan di barat. Feminisme adalah suatu bentuk pengakuan
atas posisi perempuan di masyarakat yang disejajarkan dengan kaum pria dengan
tidak hanya melihat perbedaan jenis kelamin saja. Feminisme juga tidak hanya di
barat saja, tetapi juga sudah merambah masuk ke dunia Islam. Menurut feminis
muslim menganggap bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan, otomatis
menyebabkan kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Dan dalam Islam sendiri dikatakan bahwa Islam
memandang laki-laki dan perempaun secara setara juga, dan bahwa Allah secara
umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi dalam realitanya, banyak feminis Islam yang lebih mengutaman logika dari
pada ajaran agama dalam menyikapi suatu persoalan.
Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa
kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam
seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun ketaatan kepada
ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip buku ini
menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga
kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan bahwa surga
terletak di telapak kaki ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Patel, Ismail. 2005. Perempuan, Feminisme, Dan Islam.
Jakarta. Pustaka Thariqul Izzah
Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 2000. Jatidiri Wanita Muslimah. Jakarta:
Pustaka Al Kautsar.
Dewi Kania, Dinar. 2010. Islamia: Isu Gender, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Khairul
Bayan Press.
Fahmi Zarkasyi. 2010. Islamia: Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Jakarta:
Khairul Bayan Press.
Husaini, Adian. 2010. Islamia: Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam .
Jakarta: Khairul Bayan Press.
Elmubarok, Zaim. 2010. Pengantar Ilmu Budaya. Jogjakarta:Pelangi Publishing
Baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2009_07_01_earchive.html
Label:
kuliah