Selasa, 02 Juli 2013 kemarin saya baru menyelesaikan membaca
sebuah novel berjudul ‘Bidadari’, hasil goresan pena dari bunda Pipiet Senja. Awalnya
tak banyak yang saya ketahui tentang beliau, baru-baru ini saja saya tertarik
untuk membaca novel yang terbit dibulan
Januari tahun 2010 silam. Barulah setelah saya menamatkan bacaan saya ini, saya
mulai terdorong untuk mengenal lebih jauh seperti apa sosok seorang Pipiet
Senja.
Pencarian saya mulai dari profil beliau. Lama saya terpaku pada
layar netbook, dan seperdetik kemudian saya menemukan banyak sekali
tulisan-tulisan mengenai beliau. Mulai dari biodata pribadi, karya-karya nya
serta tentang bagaimana problematika kehidupan yang beliau alami.
Sampailah saya pada sebuah tulisan disebuah Blog yang sangat
menyayat hati. Kalau biasanya bunda menciptakan goresan-goresan fiksi sebuah
pena yang memilukan, yang ini adalah sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa seorang
Pipiet Senja, seorang wanita dalam hingar bingar dunia tulis menulis yang telah
menginspirasi banyak orang hanya bisa tergolek lemah menunggu uluran tangan
manusia-manusia dermawan yang ingin menyumbangkan sedikit rizkinya.
Berikut Tulisan bunda Pipiet Senja dalam Blog nya
Cibubur, 14 Maret 2013
![]() |
Pipiet Senja saat menerima penanganan medis |
Memasuki
bulan kedua sejak mendengar diagnosa dokter, mengenai kondisi kesehatanku;
kelainan darah bawaan, hepatitis, kardiomegali dan DM alias diabetes melitus.
Sejak itulah aku memutuskan
untuk menjaga ketat asupan makanan dan minuman. Saking ketatnya, dan kepingin
sekali menurunkan kadar gula dalam darah, aku tak pernah lagi sarapan lengkap,
selain semangkuk kecil havermut dan segelas susu diabetes.
Sementara itu, sejak memutuskan
gugat cerai, aku harus pergi dari rumah yang selama ini kami, aku dan putriku
tempati. Terhitung sejak Agustus 2012, aku numpang di rumah anak-anak, hanya
dua anak.
Anak sulung sudah punya rumah
cicilan di Citayam. Adiknya, perempuan baru menikah dan masih numpang di rumah
dinas mertua di Halim. Karena harus bolak-balik ke RSCM, untuk menghemat enerji
dan dana, kuputuskan numpang di rumah dinas besan.
Apabila ingin nyaman menulis
dan beribadah, biasanya aku akan pergi ke Mesjid At-Tin, di sanalah bersama
para nomaden lainnya; aku menulis, menulis sambil bermunajat. Memohon
kesembuhan
langsung
dari Sang Khalik.
Acapkali ada seseoang yang
menyodokan nasi bungkus kepadaku dengan tatapan iba dan simpati. Barangkali dia
mengira diriku pun tak lebih sebagai perempuan tua tunawisma, wajib dikasihani
dan dibagi nasi bungkus.
Karena tak enak hati jika
menolak tawarannya, maka aku pun mengambilnya dengan penuh rasa syukur. Aku
menyuap nasi pemberiannya itu dengan airmata bercucuran, hmmm, ternyata nikmat
sekali nasi bungsu lauk tempe tahu alakadanya campur rasa asin airmataku
sendiri.
Tak jarang putriku Butet mengira emaknya ini sedang berada di Citayam, di tengah keluarga abangnya dan cucu-cucu. Demikian pula sebaliknya, sulungku Haekal mengira aku baik-baik saja berada di dekat Butet di Halim.
Tak jarang putriku Butet mengira emaknya ini sedang berada di Citayam, di tengah keluarga abangnya dan cucu-cucu. Demikian pula sebaliknya, sulungku Haekal mengira aku baik-baik saja berada di dekat Butet di Halim.
Namun, satu hal yang jelas dari
serangkaian terapi, tiada kata lain kecuali; harus menebus obat!
Jika selama ini masih bisa
memanfaatkan Askes, maka sejak menjadi janda, fasilitas Askes pun dicabut. Demi
Kartu Sehat, terpaksa aku harus memilih pindah menjadi warga DKI Jakarta.
Selamat tinggal Depok, selamat
tinggal Jawa Barat dengan segala keindahannya, kampung halaman tercinta.
Ternyata mengurus Kartu Sehat
pun belum bisa kulaksanakan. Begitu banyak waktu tersita, mengobati lever dan
jantung, berseberangan dengan antidiabetes.
Dokter sudah menggambarkan
prognosa, kemungkinan terburuk di kemudian hari dengan mengkonsumsi semua
obat-obatan yangsegambrengan. Ginjal bisa kena, pancreas bisa saja tidak
berfungsi dan itu berarti menghilangkan produksi albumin.
“Dokter, sudah, ya, jangan
dibahas lagi. Semuanya sudah saya tahu, saya baca dari browsingan,” tukasku
satu kali, rasanya bikin sakit kepala dan bisa struk mendadak mendengar
kemungkinan-kemungkinan terburuk itu.
Inilah obat-obatan yang harus
aku telan setiap harinya; Xjade, 6 butir gede-gede diminum sekaligus,
dicairkan, ini khusus untuk menormalisasi zat besi ferritin pasca ditransfusi.
Isosorbide Dinitrate, Scantipid, Captropil, Metformin, Lansoprazole, Merzasol,
Vitamin E, B12, Asam Folat dan transfusi darah yang semakin sering.
Padahal sebelumnya, selama
berpuluh tahun, dokter hanya memberiku Asam Folat dan Xjade atau Desferal saja.
Obat yang satu ini jika harus beli harganya satu kaplet berisi 7 butir adalah;
1 juta 367 ribu. Aku membutuhkan 180 butir per bulannya.
Ya Allah, aku ingin sembuh,
tetapi begitu mahal kesehatan itu, ya Robb!
“Jual sajalah, Ma, rumah
kontrakan yang dihibahkan Papa ke Butet itu,” usul putriku satu kali.
Dia tentu bisa merasakan
bagaimana ibunya ini semakin sering wara-wiri ke rumah sakit, artinya semakin
banyak saja dana yang harus dikeluarkan.
“Serius? Itu kan rumah
kenangan, banyak peristiwa terjadi selama 25 tahun kita menempatinya.”
“Kebanyakannya juga peristiwa
menyakitkan, Mama. Lihat Mama dijadikan samsak, dipukuli, ditendangi, mata Mama
bocor dan berdarah-darah. Tulang lutut Mama retak, jalan pincang sampai
berbulan-bulan….”
“Pssst, lupakan semuanya, Nak,”
tukasku mendadak ngeri lagi jika mengingat semua kekerasan yang pernah kami
peroleh dari lelaki itu.
“Makanya, jual sajalah! Lagian
kita memang membutuhkannya. Terutama buat berobat Mama. Katanya kan Mama mau
berobat ke Melaka?”
“Iya sih, eh, kalau ada
dananya. Bagaimana dengan rumah yang harus kita miliki juga?”
Butet tercenung. Tentu saja
kami harus menyadari bahwa saat ini yang terpenting adalah rumah tinggal
sendiri. Ini rumah dinas, besan dalam masa persiapan pensiun.
Kabarnya, mereka hanya diberi
waktu sampai September, dan itu tinggal beberapa saat lagi!
“Begini saja, fokuskan dulu
untuk cari rumah yang bisa dicicil dengan KPR. Ingat, jangan yang mahal, ya,
yang penting kita bisa tinggal nyaman dan rumah sendiri,” pesanku memutuskan
matarantai kegamangan.
“Hmm, DP-nya dari mana, Ma?
Tabungan kami gak seberapa banyak.” Butet tertunduk di samping suaminya yang
tak berkata-kata.
”Mama akan berusaha cari solusi
untuk DP-nya. Selanjutnya kalianlah yang mencicil. Kelak, kalau kalian sudah
ada, DP-nya harap dikembalikan ke Mama. Bagaimana setuju?” cerocosku
menyemangati pasustri yang belum lama menikah ini.
“Waaah, seriuuus, Ma? Kita
boleh pinjam? Eh, memang Mama sudah ada duitnya?”
“Tenanglah, nanti Mama
minta bantuan para sahabat yang bisa diandalkan.”
Dalam dua bulan itu, aku
bergerak terus antara rumah sakit dengan beberapa pertemuan. Sedikit demi
sedikit dana terkumpul. Ada sumbangan dari jamaahnya Ustad Bobby Herwibowo dan
Ratih Sang, Pinjaman dari Kang Abik dan Pak Remon, bos penerbit Zikrul Hakim,
sebelum aku memutuskan untuk resign.
“Buat DP rumah apa sudah ada,
Mama? Pengajuan pinjaman ke Bank sudah disetujui,” lapor Butet, memerlihatkan
dokumen KPR.
“Iya, siang ini ada yang
transfer.”
Setelah diperoleh sebuah rumah
tinggal di kawasan Kota Wisata, Cibubur, barulah aku menyadari kembali; tak ada
lagi uang untuk dana pengobatan. Jangankan untuk menebus obat atau bayar
laboratorium, bahkan untuk sekadar ongkos ke rumah sakit pun kosong!
“Sudah dipasang iklan gratis di
berniaga.com bahkan tokobagus.com. Tapi belum ada yang berjodoh beli rumah
kontrakan kita,” laporku pula kepada putriku.
“Sabar terus, ya Mama sayang.
Semoga Mama disehatkan dan dikuatkan,” putriku memelukku erat-erat.
Acapkali begitu pulang kerja
malam-malam, dia langsung menengokku ke kamar. Dipeluk, dikecupnya pipi-pipiku,
sambil memeriksa tangan dan kaki-kakiku.
“Mama, aduuuh, rasanya badan
Mama jadi mengecil begini ya. Lihat, kaki-kaki Mama mengerucut seperti kakinya
Omah,” komentarnya sambil memijiti kaki-kakiku, tak jarang kurasakan air bening
menetes dari sudut-sudut matanya.
“Pssst, Mama masih kuat, ah!”
elakku seraya balik mengusap-usap permukaan perutnya.”Nah, bagaimana kabarnya
si Utun Inji hari ini?”
“Makin lincah gerakannya,
Manini. Semoga si Dede ini menjadi perempuan tangguh, perempuan hebat seperti
Manini,” celotehnya pula dengan mata berbinar-binar penuh semangat dan harapan
calon ibu muda.
Akhirnya, aku memang harus
menjual; rumah kontrakan 12 pintu di Jalan Raden Saleh 4 No 31 Rt.03/Rw 05,
kelurahan Sukmajaya, Depok. SHM, IMB, harga 275 juta, sudah termasuk pajak
pembeli, balik nama dan Notaris.
Rumah Kontrakan Pipiet Senja |
Aku
tidak ingin mengemis, sungguh, hanya minta bantuan sahabat, agar ikut menyebar
permintaanku ini. Ya, semoga tidak termasuk iklan, sehingga tak perlu dihapus
dari akunku di sini.
Maafkan
lahir batin dan mohon selain doa juga keikhlasannya membantu perjuanganku ini.
Terimakasih, semoga Sang Maha Penyembuh masih memberiku waktu untuk berkarya,
dan bermanfaat bagi orang banyak.
Salam manis;
PIpiet Senja (085669185619)
PIpiet Senja (085669185619)
0 komentar:
Posting Komentar